Banda Aceh – Forum LSM mengadakan Seminar Refleksi 15 Tahun Perdamaian Aceh pada hari Rabu 25 November 2020, di Hermes Palaca, Hotel, Banda Aceh.
Seminar ini menghadirkan Nasir Djamil S.Ag, M.Si (Anggota DPR RI) sebagai salah seorang nara sumber yang membahas Aceh pasca perdamaian, antara MoU, konflik bendera dan Milad GAM. Nara sumber lainnya adalah Rustam Efendi (Akademisi / pengamat ekonomi) yang memaparkan tentang Dana Otsus dan Kesejahteraan Rakyat.
Afridar Darmi Ketua KKR Aceh juga menyampaikan topik terkait Penanganan dan Keadilan Korban Konflik. Hadir juga Drs. Arsy (Kesbangpol Aceh) yang memaparkan tentang peran partai politik lokal dalam Demokrasi Aceh pasca perdamaian.
Acara ini dimoderatori oleh Dr. Otto Syamsuddin merupakan Akademis Unsyiah dan pernah menjabat Komisioner Komnas HAM.
Seminar mengundang peserta dari Pemerintahan, akademisi, ulama, tokoh masyarakat, aktivis pemuda, BEM, aktivis perempuan, dan LSM.
Sekretaris Jenderal Forum LSM Aceh, Sudirman Hasan mengatakan Banyak perkembangan yang terjadi di Aceh selama proses perdamaian ini, baik dari sisi demokrasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia, politik, dan pembangunan, katanya.
Namun tidak semua perkembangan itu sesuai harapan yang diinginkan masyarakat. Dalam perspektif lain, ada yang menganggap perdamaian itu masih belum sesuai dengan konsep pembangunan yang diinginkan. Pandangan ini muncul setelah melihat banyaknya anggaran pembangunan yang mengalir untuk Aceh, tapi hasil yang diperoleh belum seperti yang ditargetkan, tambah Dirman.
Dirman mencontohkan pasca perdamaian 2005 Aceh mendapat dana dana otonomi khusus selama 20 tahun, terhitung 2008 hingga 2027 sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sampai tahun 2019, Aceh telah menerima Dana Otsus berskisar Rp 73 triliun.
Atau jika dirata-ratakan, setiap tahun Aceh mendapat dana Otsus berkisar Rp 8 triliun. Jika ditotalkan dengan APBA, anggaran pembangunan Aceh setiap tahun lebih dari Rp 23 triliun. Belum lagi anggaran pembangunan yang bersumber dari APBN.
Tidak heran jika ada yang mengatakan kalau dana yang mengalir untuk Aceh pasca perdamaian cukup besar. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah aliran dana itu telah mampu melahirkan banyak perubahan untuk Aceh?
Setiap orang tentu saja punya cara pandang yang berbeda dalam menilai tiga elemen di atas. Untuk masalah konflik Aceh dan pusat misalnya, bisa jadi ada yang menganggap sudah tidak ada lagi. Tapi sebagian tetap melihat potensi itu masih ada, terutama jika melihat sengketa bendera Aceh yang sampai sekarang belum jelas. Bendara itu sudah disahkan di tingkat daerah, tapi tidak disetujui oleh Pemerintah Pusat. Jika ini terus berlarut, bukan tidak mungkin masalahnya semakin rumut.
Sementara untuk masalah kesejahteraan rakyat, Aceh tetap saja menjadi sorotan karena tingkat kemiskinan di daerah ini masih tinggi. Bahkan Aceh merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera atau tertinggi ke-5 di Indonesia setelah Papua, NTT, Maluku dan Gorontalo. Artinya, dana jumbo yang mengalir untuk Aceh belum mampu meningkatkan kesejahteraan tersebut.
Apalagi jika melihat system penanganan korban konflik, Aceh sepertinya bergerak di tempat. Terkesan korban konflik itu dilupakan begitu saja. Benar bahwa Pemerintah Aceh telah membentuk KKR untuk melakukan pencatatan terhadap kasus kekerasan di masa lalu, tapi nyatanya keberadaaan KKR itu bagaikan ada dan tiada, sehingga penanganan korban konflik belum menunjukan kepastia, tutup Sudirman mengakhiri wawancara. (Red)