*Bermula dari Pembakaran Lahan di Rawa Tripa
Banda Aceh – Sejumlah pakar hukum dari Universitas Syahkuala (USK), Mahkamah Agung (MA) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kamis (16/9/2021) duduk bersama dalam pertemuan ahli (expert meeting) membahas gagalnya eksekusi terhadap perusahaan kelapa sawit PT Kallista Alam yang telah diputus bersalah oleh pengadilan. Pertemuan itu dilaksanakan atas kerja sama Forum LSM Aceh dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (Haka).
Sengketa lahan perkebunan sawit itu bermula dari aksi pembakaran lahan yang dilakukan PT Kallista Alam di atas lahan sekitar 1.000 hektar di area gambut Tripa, Kabupaten Nagan Raya pada periode 2009-2012. Padahal area itu merupakan kawasan hutan lindung yang harus dilestarikan. Tidak boleh ada perkebunan kelapa sawit di situ.
Akibat tindakan itu, PN Meulaboh pada 15 Juli 2014 memvonis PT Kallista Alam bersalah dan wajib membayar ganti rugi Rp 366 miliar, dengan rincian Rp114,3 miliar ke kas negara dan membayar dana pemulihan lahan Rp251,7 miliar.
Upaya perlawanan telah dilakukan PT Kallista Alam untuk membatalkan putusan itu. Namun sampai di tingkat PK, Mahkamah Agung tetap memenangkan Kementerian LHK selaku penggugat. Putusan bersifat inkracht dan harus dieksekusi.
Untuk proses eksekusi, PN Meulaboh telah mendelegasikan kewenangan kepada PN Suka Makmue. Sebelumnya kasus ini ditangani PN Meulaboh karena saat sengketa muncul, belum ada pengadilan di Nagan Raya sebagai daerah hasil pemekaran Kabupaten Aceh Barat. Pada awal 2019 barulah PN Suka Makmue terbentuk, sehingga kewenangan eksekusi putusan pengadilan add di PN Suka Makmue.
Namun belakangan PN Suka Makmue memiliki penafsiran berbeda soal kewenangan atas eksekusi lelang asset PT Kallista Alam itu. Mereka merasa kewenangan yang diberikan tidak lengkap, sebab tidak ada putusan yang menegaskan PN Suka Makmue berhak masuk ke lokasi PT Kallista Alam dan berhak menilai asset yang akan dilelang. Mereka menuntut ada amar putusan baru yang menegaskan hak tersebut. Selagi amar putusan belum ada, PN Suka Makmue tidak mau masuk ke lokasi sengketa.
Anehnya, Ketua PN Suka Makmue justru telah mengukuhkan dan mengambil sumpah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) selaku pihak yang melakukan appraisal terhadap asset yang akan disita. KJPP yang telah ditetapkan itu adalah Pung’s Zulkarnain dan Rekan.
Hanya saja, saat KJPP hendak melakukan penghitungan nilai asset di lokasi yang akan disita, mereka diusir oleh petugas PT Kallista Alam karena tidak ada pendampingan dari juru sita PN Suka Makmue. Dua kali KJPP Pung’s Zulkarnain dan Tim Kementerian LHK masuk ke lahan PT Kallista Alam, dua kali pula mereka dihandang. Padahal tim itu didampingi petugas dari Polda Aceh dan Polres Nagan Raya.
Jasmin Ragil Utomo dari Kementerian LHK menuding PN Suka Makmue sebagai penyebabnya, karena enggan mendampingi tim appraisal ke lapangan. “Mereka sudah menetapkan KJPP, tapi kerja KJPP di lapangan tidak didampingi,” tegasnya.
Padahal putusan terhadap PT Kallista Alam itu sempat mendapat sorotan internasional. Sistem peradilan di Indonesia mendapat pujian dunia karena dianggap peduli dengan upaya pelestarian lingkungan.
“Nyatanya, putusan itu hanya di atas kertas. Eksekusi tidak juga bisa dilaksanakan,” tegas Ragil.
Pandangan Para Ahli
Para pakar hukum memahami bahwa ada ketidakjelasan terkait regulasi tata cara eksekusi kasus lingkungan ini. Meski demikian, M Gaussyah menilai, ketika kewenangan eksekusi sudah diberikan PN Meulaboh kepada PN Suka Makmue, artinya proses eksekusi sudah bisa dijalankan sepenuhnya.
“Proses pendelegasian itu sudah sah dan dibenarkan secara hukum,” ujar Dekan Fakultas Hukum USK itu. Atas dasar itu, Ketua PN Suka Makmue seharusnya bisa menjalankan kewenangan eksekusi tanpa perlu ragu. Jika Ketua PN Suka Makmue masih ragu, Gaussah menyarankan agar masalah ini adukan ke Komisi Yudisional dan lembaga Ombudsman.
“Bisa jadi ada maladministrasi di sana. Paling tidak pengaduan ini mendorong agar hambatan hokum terkait eksekusi itu lebih jelas,” tambah Gaussyah.
Pandangan ini didukung oleh Rismawati, dosen senior Fakultas Hukum USK. Meski sependapat bahwa aturan eksekusi dalam sistem hukum Indonesia masih carut marut, Rismawati tetap melihat ada kewenangan luas dari Ketua PN Suka Makmue mendorong berjalannya ekskusi itu.
“Selagi tidak bertentangan dengan aturan hukum, hakim bisa membuat terobosan baru terkait eksekusi. Dia harus kreatif melihat celah hokum yang harus diisi. Jangan gamang. Kalau Ketua PN Suka Makmue ragu, sampai kapanpun ekseksi tidak akan pernah dilakukan,” ujar Rismawati.
Keraguan ketua pengadilan terkait aturan eksekusi yang belum jelas, ujar Rismawati, bukan hanya terjadi dalam kasus lingkungan, tapi juga dalam banyak kasus lainnya. Makanya, cukup banyak putusan pengadilan yang tidak bisa dieksekusi. Rismawati mendorong agar ketua PN kreatif melakukan terobosan baru untuk mengisi kekosongan hukum ini.
Tidak kalah menariknya adalah pandangan Yanis Rinaldi. Sama seperti dua rekannya, ahli hukum USK ini juga menilai seharusnya eksekusi bisa dilakukan oleh Ketua PN Suka Makmue. Tapi kalau ketua PN ragu soal prosedur, Yanis menyarankan agar MA menarik kewenangan eksekusi itu.
“Jadi MA bisa melakukan recht vinding untuk membentuk hukum baru agar kekosongan hukum terkait eksekusi bisa diisi,” tegas Yanis. Dengan demikian proses eksekusi bisa diambil alih oleh MA.
Sugeng Riyono sebagai pakar hukum lingkungan di MA menilai usulan Yanis ini cukup menarik.
“Saya akan mengusulkan Ketua Pokja Lingkungan MA mengambilalih kasus ini agar dibahas lebih lanjut,” ujar Sugeng. Dengan demikian perdebatan soal eksekusi ini segera diselesaikan.[]
sumber: kataalpha.com