Oleh Sudirman*)

JAGAT peradilan di Indonesia  sempat mengejutkan dunia tatkala Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh, 15 Juni 2014,  menghukum PT Kallista Alam membayar ganti rugi sebesar Rp 366 miliar atas keterlibatan perusahaan perkebunan kelapa sawit itu dalam pembakaran lahan di hutan lindung Rawa Tripa.  

Tak pelak,  peradilan Indoneia  mendapat pujian dari berbagai negara. Putusan itu menunjukkan betapa pedulinya negara ini dalam menjaga ekosistem  hutan lindung.

Tapi mungkin tidak banyak yang tahu, sampai detik ini,  eksekusi terhadap putusan itu belum bisa dilakukan. PT Kallista Alam masih nyaman mengembangkan bisnis sawitnya  di lahan yang  tidak  jauh dari kawasan ekosistem Leuser itu.  Perusahaan itu seakan tidak tersentuh hukum.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku pemohon telah  tiga kali mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PN Meulaboh, dimulai  sejak 2017 hingga 2018.

Ketua PN Meulaboh telah pula menindaktlanjuti permohonan itu dengan mengeluarkan surat teguran (aanmaning) dua  kali kepada PT. Kallista Alam agar melaksanakan isi putusan inkracht secara sukarela.

Secara hukum, PT Kallista Alam tidak punya  alasan apapun untuk menolak eksekusi itu. Upaya hukum yang mereka lakukan telah menemui jalan buntu, sebab sampai di tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung,  tetap saja perusahaan itu kalah.  

Tidak ada satupun perlawanan dari PT Kallista Alam yang  bisa membatalkan ekskusi itu. Satu-satunya yang bisa dilakukan perusahaan itu hanya menyerah pasrah,  patuh pada putusan yang telah ditetapkan.

Namun  PT Kallista Alam  sepertinya tidak mau begitu saja tunduk kepada sistem hukum di negeri ini. Meski dua kali mendapat teguran dari pengadilan, tapi perusahaan itu bergeming. Mereka menganggap teguran itu hanya angin lalu. Di lapangan, mereka tetap sebagai panglimanya.

Melihat sikap itu, KLHK selaku pihak pemohon kemudian mengajukan eksekusi (paksa) terhadap sejumlah asset perusahaan tersebut. Permohonan itu dipenuhi, sehingga pada Januari 2019, Ketua PN Meulaboh mengeluarkan penetapan berupa pendelegasian kepada Ketua PN Suka Makmue untuk melakukan eksekusi lelang di muka umum atas obyek sita berupa HGU perusahaan itu seluas 5.769 hektare.

Pendelegasian terpaksa dilakukan sejalan dengan pemekaran Kabupaten Nagan Raya, sehingga wilayah itu, sejak 2019 memiliki lembaga  pengadilan sendiri, yakni Pengadilan Negeri Suka Makmue. Sebelumnya, peradilan di wilayah Nagan Raya masih berada dalam wewenang  PN Maulaboh sebagai wilayah induknya

PN  Suka Makmue awalnya menyambut baik  pendelegasian itu. Tentu saja langkah eksekusi itu harus diawali dengan  penghitungan nilai asset (appraisal) yang akan dilelang. Dan proses appraisal harus dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik  (KJPP).

KLHK lantas mengajukan  tiga nama KJPP  guna melakukan appraisal atas asset yang akan disita.

Ketua PN Suka Makmue memilih satu nama dari tiga opsi yang diajukan. Adapun KJPP yang dipilih adalah Pung’s Zulkarnain dan Rekan, sebuah lembaga  appraisal yang cukup besar dan memiliki cabang di berbagai wilayah di Indonesia.

Ketua PN  Suka Makmue telah menetapkan dan mengambil sumpah terhadap KJPP ini pada pertengahan 2019.

Sebagai langkah tindak lanjut, KLHK pun berkoodinasi dengan Bareskrim Mabes Polri, Bupati Nagan Raya,  Polda Aceh, Polres Nagan Raya, Dinas KLH Nagan Raya  untuk mendukung proses eksekusi  di lapangan.

Mereka juga sudah meminta pimpinan PT Kallista Alam agar mematuhi putusan pengadilan secara sukarela. KLHK meminta agar pihak perusahaah berkenan menyediakan  dokumen untuk kelancaran  penilaian obyek sita eksekusi .

Namun siapa sangka, saat tim KLHK dan KJPP melakukan peninjauan di lapangan, petugas PT Kallista Alam dengan lantang mengusir mereka. Dua kali tim ini turun ke lokasi sengketa, keduanya pulang dengan tangan hampa.

Tim yang didampingi aparat kepolisian itu seakan tidak mampu berhadapan dengan para centeng PT Kallista Alam.

Pihak PT Kallista Alam menolak menerima kedatangan tim KLHK dan KJPP karena  kunjungan mereka tidak disertai pendampingan dari PN Suka Makmue. Alasan ini sebenarnya sangat masuk akal, sebab proses eksekusi seharusnya merupakan kewenangan PN Suka Makmue.

KLHK sendiri mengaku sudah berkali-kali meminta Ketua PN Suka Mamue  agar mengirim anggotanya mendampingi tim appraisal ke lapangan agar proses penilaian asset PT Kallista Alam  berjalan lancar. Tapi permintaan itu tegas ditolak oleh Ketua PN Suka Makmue.

Dengan tidak adanya penampingan itu, langkah appraisal yang dilakukan KJPP tidak bisa berjalan. Akibatnya, eksekusi lelang pun sampai detik ini tidak bisa dilakukan.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa putusan  ganti rugi terhadap PT Kallista Alam  terkesan hanya di atas kertas. Terlihat garang dalam putusan, tapi loyo di lapangan. Seakan tak ada tangan hukum yang berani menyentuh perusahaan itu. PT Kallista Alam begitu digjaya melawan semua tekanan yang menghadang mereka.

Sampai saat ini Ketua PN Suka Makmue tetap  menolak mendampingi tim appraisal (KJPP) ke lapangan. Alasan mereka, sebab tidak ada amar putusan pengadilan yang mengatakan PN Suka Makmue diperbolehkan memasuki lahan PT Kallista Alam.

Selain itu, PN Suka Makmue juga mengaku tidak mendapatkan amar putusan yang menyatakan mereka berhak meminta data tentang nilai asset yang akan disita kepada PT Kallista Alam.

Menariknya, PN Suka Makmue mengaku tetap menghormati putusan pengadilan yang telah memaksa  PT Kalliata Alam membayar ganti rugi, tapi selaku pihak termohon, hak perusahaan itu harus dihormati.

Selagi tidak ada surat perintah bagi PN Suka Makmue memasuki lahan PT Kallusta Alam, selama itu pula mereka tidak akan mau mendampingi tim appraisal.

Sejauh ini PN Suka Makmue mengaku hanya menerima kewenangan untuk melakukan eksekusi lelang. Artinya, soal penilaian asset bukan urusan mereka. Tapi kalau nilai asset itu sudah diperoleh  KJPP yang ditunjuk, maka eksekusi lelang  siap mereka laksanakan.

Masalahnya,  bagaimana mungkin KJPP bisa melakukan penilaian asset, sebab mereka sendiri tidak bisa masuk ke lahan yang akan disita.

Sampai di sini, rencana eksekusi mengalami  jalan buntu. Kebuntuan itu bukan saja karena kebengalan PT Kallista Alam menolak eksekusi, tapi juga dipicu perbedaan pendapat antara Kementerian LHK (selaku pemohon) dan pihak PN Suka Makmue (sebagai pelaksana eksekusi).

Padahal keduanya sama-sama mewakili negara  (state) yang harusnya  bertindak atas keputusan pengadilan.

KLHK berprinsip, surat pendelegasian dari PN Meulaboh seharusnya sudah mencakup di dalamnya kewenangan bagi PN Suka Makmue untuk masuk ke lokasi sengketa. Lagi pula, Ketua PN Suka Makmue telah menetapkan dan mengambil sumpah  KJPP selaku penilai asset.  Makanya, sangat aneh jika Ketua PN Suka Makmue sudah menetapkan KJPP, tapi menolak mendampingi  tim appraisal itu turun ke lapangan.

Tidak heran jika sikap PN Suka Makmue ini sempat memunculkan  kecurigaan bahwa lembaga itu turut bermain membela PT Kallista Alam mulai menguat. Apalagi perusahaan perkebunan sawit itu disebut-sebut mendapat back-up dari sejumlah tokoh besar di Jakarta yang dekat dengan kekuasan.

Namun PN Suka Makmue punya alasan  tersendiri menyikapi masalah ini. Mereka tetap berpatok kepada bahasa yang jelas. Karena tidak ada bahasa yang menegaskan PN Suka Makmue bisa turun ke lokasi, mereka pun menolak mendampingi kerja KJPP di lapangan.

Intinya, PN Suka Makmue tidak mau terlibat dengan kerja KJPP di lapangan. Mereka hanya mau menerima hasilnya saja. Jika hasil sudah ada, proses eksekusi lelang akan bisa dilaksanakan. PN Suka Makmur berdalih kewenangan mereka hanya sebatas melakukan eksekusi lelang, bukan masuk ke wilayah orang lain.

Kalau tim PN Suka Makmue turun ke lokasi sengketa, lembaga itu berdalih  telah melakukan tindakan  cowboy yang memaksa diri masuk ke wilayah orang lain. dan mereka tidak mau melakukan itu, sebab mereka wajib menghormati hak termohon.

Multi tafsir soal bahasa inilah yang membuat eksekusi sampai sekarang belum bisa dilakukan. Selagi perbedaan penafsiran ini tidak bisa disatukan,  sampai kapan pun eksekusi terhadap asset PT Kalista Alam  sebagai jaminan ganti rugi atas pembakaran lahan yang mereka lakukan, tidak akan berjalan.

Sepertinya dibutuhkan keterlibatan Mahkamah Agung  untuk menengahi multi tafsir soal eksekusi lelang ini. Perlu bahasa hokum yang lebih rijit agar tidak muncul penafsiran berbeda. Atau jangan-jangan memang perbedaan penafsiaran ini sengaja dimunculkan agar  ekskusi tidak bisa dilakukan.

Jika hal terarkhir ini sebagai penyebabnya, maka  bisa dipastikan kalau PT Kallista Alam memang bukan perusahaan sembarangan.Pasti ada kekuatan  yang sangat berpengaruh di balik perusahaan itu.  Biasanya, hanya pergantian rezim yang biasa mengalahkan kekuatan ini.

Kabar terakhir,  rumitnya persoalan penilaian asset di lapangan telah membuat  pihak KJPP yang ditunjuk mengirimkan surat pengunduran diri. Karuan, masalah eksekusi ini  pun kian rumit. Bisa jadi putusan pengadilan terhadap PT Kallista Alam hanya omong kosong!

*) Penulis Adalah Sekjen Forum LSM Aceh

sudah di publis di theacehpost.com