Banda Aceh – Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2015 tentang Pengalihan Badan Pertanahan Nasional di Aceh dan Kantor Pertanahan Kab/Kota menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh telah terbit lima tahun silam. 
Dengan hadirnya Perpres itu, seharusnya Pemerintah Aceh telah memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan kebijakan pertanahan di daerah ini. Nyatanya, sampai sekarang pengelolaan itu belum jelas. Baik Pemerintah Aceh maupun Pemerintah pusat kurang transparan.

Buktinya, sampai tahun lalu, proses pengalihan status pertanahan itu belum tuntas meski beberapa kali sudah dilakukan pertemuan antara tim Pemerintah Aceh dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI. Terakhir, Pemerintah Aceh pernah mengirim surat kepada Menteri Agraria untuk kelanjutan proses FGD membahas masalah pengalihan status itu.

“Berarti sampai akhir tahun 2019, masalah pengalihan kewenangan ini sebenarya belum selesai,” kata Sekjen Forum LSM Aceh Sudirman Hasan. Hal itu berarti keberadaan BPN di Aceh dan di Kabupaten/kota sepenuhnya masih berada di bawah kendali pusat.

Sehubungan dengan itu, Forum LSM Aceh akan mengirimkan surat kepada Pemerintah Aceh terkait hambatan dan perkembangan pelaksanaan Perpres tersebut.

Ada tiga hal yang dipertanyakan lembaga itu, yaitu, pertama, sejauh pembahasan soal pengalihan status pertanahan di Aceh antara Pemerintah Aceh dan Kementerian Agraria; kedua bagaimana pelaksanaan kewenangan pertanahan di Aceh sekarang ini; dan ketiga apa saja hambatan yang dihadapi pemerintah Aceh untuk proses pengalihan status itu.

Jawaban dari ketiga pertanyaan itu, menurut Sudirman Hasan, sangat penting untuk diketahui public agar masyarakat paham sejauh mana perkembangan soal kewenangan pertanahan di Aceh saat ini. Apalagi masalah pertanahan kerap menuai konflik di daerah sehubungan dengan kehadiran sejumlah investor di bidang perkebunan.
“Yang lebih parah lagi, sudah banyak kepala daerah yang bagi-bagi tanah. Apakah prosedur itu sudah sesuai dengan kebijakan yang berlaku? Ini yang ingin kita pertanyakan lebih mendalam,” kata Sudirman.

Sebagai lembaga yang memberi perhatian terhadap advokasi hak-hak rakyat Aceh, Forum LSM Aceh berharap pemerintah Aceh bersikap transparan soal masalah ini. Jangan sampai kewenangan soal pertanahan justru menjadi ajang bagi-bagi tanah untuk kelangan pejabat tertentu.

Indikasi itu mencuat karena Forum LSM Aceh melihat banyak sekali pejabat di Aceh yang sudah berinvestasi di sektor perkebunan.

“Rakyat perlu tahu asal muasal tanah mereka itu,” kata Sudirman Hasan. Mudah-mudahan proses itu berjalan secara legal. Tapi jika tidak, maka Forum LSM Aceh beserta jariangannya akan mempertimbangkan melakukan gugatan class action.

Masalah pengelolaan pertanahan merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan kepada Aceh sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemeritahan Aceh.

Awalnya keistimewaan ini ditujukan untuk menyelamatkan kawasan pertanahan Aceh dari penyalahguaan lahan yang kerap merusak lingkungan.
Akan tetapi menjadi sangat ironis jika setelah kewenangan itu diberikan, justru menjadi ajang untuk korupsi dan bagi-bagi lahan di kalangan pejabat. (red)