BANDA ACEH – Koalisi Pemantau Independen Pemilihan Umum 2019 (KOPI Pemilu 2019) terdiri dari Forum LSM Aceh bersama Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Provinsi Aceh, menyoroti sejumlah persoalan terkait Pemilu 2019 di Serambi Mekah ini.

Direktur Eksekutif JaDI Provinsi Aceh, Ridwan Hadi, saat konferensi pers, di Jay Kupi, Kuta Alam, Banda Aceh, Selasa, 2 Oktober 2018, mengatakan, pelaksanaan Pemilu 2019 di Aceh masih diperlukan beberapa perbaikan untuk menjamin pemilu berlangsung sesuai dengan harapan masyarakat dan berdaulat.

“Tentunya perbaikan ini meliputi pihak penyelenggara, pengawasan, daftar pemilih, partisipasi masyarakat serta aspek keamanan. Dalam hal ini ada beberapa (persoalan) yang selama ini luput dari perhatian publik,” ujar Ridwan Hadi.

Menurut Ridwan, dalam pelaksanaan Pemilu 2019 di Aceh terdapat dua kabupaten yang tahapan pelaksanaan pemilu diambil alih oleh KIP Aceh, yaitu Aceh Tenggara dan Simeulue. Untuk Simeulue, kata dia, bupati belum melantik anggota KIP yang sudah ditetapkan berdasarkan Keputusan KPU RI pada 3 Juli 2018 dengan Nomor. 832/PP.06-Kpt/05/KPU/VII/2018. Alasan bupati bahwa ada satu anggota KIP menjadi tersangka pemalsuan dokumen, dan dua komisioner yang lulus masih berstatus ASN serta belum mengantongi izin dari bupati selaku pembina kepegawaian di daerah.

“Kita melihat dari kasus tersebut bahwa lemahnya koordinasi KPU RI dengan KIP Aceh serta pemerintah daerah setempat terkait dengan latar belakang calon komisioner yang dinyatakan lolos oleh DPRK Simeulue. Dalam hal ini KPU RI telah membenturkan pihak eksekutif dan legislatif di Kabupaten Simeulue dengan meminta pihak eksekutif (bupati) mengajukan surat resmi ke DPRK untuk membatalkan SK KPU dan kemudian DPRK Simeulue mengusulkannya kembali kepada KPU,” ujar Ridwan.

Ridwan melanjutkan, “Mereka (KPU) bukan memberikan solusi atas persoalan yang ada, tetapi tetap memaksa kehendaknya dengan tidak mau meninjau kembali SK yang sudah dikeluarkannya”.

Untuk KIP Aceh Tenggara, Ridwan menjelaskan, panitia seleksi (pansel) sudah menyerahkan 15 nama calon yang lulus seleksi kepada Komisi A DPRK untuk ditindaklanjuti. Namun sampai saat ini Komisi A DPRK Aceh Tenggara belum melaksanakan rapat untuk membahas ke-15 nama tersebut, karena diduga masih adanya saling tarik menarik kepentingan antarpartai politik. Sedangkan tugas komisioner lama sudah berakhir pada 9 Juli 2018 lalu. Sehingga kebuntuan politik di Komisi A DPRK Aceh Tenggara diharapkan dapat diselesaikan dengan dialog bersama antaranggota komisi itu.

“Jika anggota partai politik yang tergabung dalam Komisi A itu tidak mempercepat penyelesaian masalah ini, sedangkan tahapan masih terus dilaksanakan oleh KIP Aceh maka dikhawatirkan hasil pemilu di Aceh Tenggara nantinya akan rawan gugatan,” ungkap Ridwan Hadi yang juga mantan Ketua KIP Aceh.

Sementara itu, Sekjen Forum LSM Aceh, Sudirman Hasan, menyebutkan, kasus di Aceh Tengah, pansel telah menyerahkan 15 nama calon anggota KIP kepada Plt. Sekretaris DPRK untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan di Komisi A. Namun, dari 15 nama yang dinyatakan lulus tersebut terindikasi ada salah satu calon komisioner berinisial HD sudah pernah menjabat dua periode sebagai anggota KIP Aceh Tengah.

Sudirman mengungkapkan, dalam pasal 10 ayat (9) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ditegaskan bahwa masa jabatan anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota adalah selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan pada tingkatan yang sama.

Terkait persoalan itu, Sudirman menilai pansel tidak menjalankan tugas sesuai aturan berlaku menyangkut penelitian administrasi bakal calon anggota KIP. Selain itu, calon komisioner diduga kuat tidak mencantumkan dalam daftar riwayat hidup bahwa yang bersangkutan pernah menjabat komisioner KIP selama dua periode.

Oleh karena itu, Sudirman mendesak DPRK Aceh Tengah memanggil kembali anggota pansel untuk dimintai keterangan serta laporan secara konkret. Apabila memang terbukti adanya pelanggaran, maka yang bersangkutan jangan diluluskan kepada tahapan berikutnya.

Rekam jejak

Pada bagian lainnya, Sudirman mengatakan, soal transparansi rekam jejak calon anggota DPR Aceh dan DPR Kabupaten/Kota di Aceh, harus dilakukan sosialisasi secara masif oleh KIP Aceh agar setiap pemilih paling tidak mengenal caleg secara lebih dekat.

Menurut Sudirman, KIP Aceh juga harus mengambil langkah untuk melibatkan partai politik peserta pemilu dalam penetapan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan (DPTHP) agar DPT yang dihasilkan menjadi mutakhir dan valid setelah rekomendasi Bawaslu RI.

“Karena DPT adalah bagian terpenting dalam proses pelaksanaan Pemilu 2019. Oleh karena itu, daftar pemilih yang akurat merupakan prasyarat berlangsungnya pemilihan umum yang jujur dan adil khsusnya di Aceh dan Indonesia umumnya. Dan sekaligus menjadi alat kontrol terhadap kemungkinan terjadinya penggelembungan suara, penambahan suara atau pengurangan suara,” ujar Sudirman.[]

Editor: portalsatu.com