Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diminta untuk segera mengeksekusi putusan Mahkamah Agung terhadap PT Kallista Alam. Pada pengadilan tingkat pertama, perusahaan perkebunan kelapa sawit ini divonis bersalah dan membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 114 miliar.
“Tidak ada lagi cara untuk melawan putusan Mahkamah Agung (MA) soal eksekusi lahan di area Rawa Tripa. Tapi sampai saat ini eksekusi belum dilaksanakan,” kata Sudirman Hasan, Sekretaris Jenderal Forul LSM Aceh, dalam keterangan tertulis, Selasa, 20 Oktober 2020.
MA dan Pengadilan Tinggi Aceh memperkuat Putusan PN Meulaboh bahwa PT Kalista Alam bersalah membakar lahan 1.000 hektare areal di dalam lahan IUP PT Kalista Alam. Perusahaan itu sendiri menguasai areal seluas 1.605 hektare di lahan gambut yang belakangan dicabut.
Selain menghukum Kalista membayar ganti rugi sebesar Rp 114 miliar lebih, Mahkamah Agung memutuskan perusahaan itu untuk menyediakan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp 251,7 miliar.
Dalam surat yang disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kemarin, Forum LSM Aceh mendorong KLHK bekerja sama dengan Pengadilan Negeri untuk mengeksekusi tanpa mempertimbangkan kasus lain.
Sudirman mengatakan titah pengadilan negeri jelas memutus Kallista bersalah karena membakar lahan Rawa Tripa. Putusan itu berkekuatan hukum tetap dan perlu segera dieksekusi secepatnya.
Eksekusi yang dimaksud adalah eksekusi lahan HGU Kalista yang diletakkan sita jaminan oleh pengadilan. Karena Kalista tidak bersedia secara sukarela melaksanakan kewajibannya, maka lahan HGU Kalista seluas 5.769 hektare dapat disita dan dilelang. Uang hasil lelang dapat digunakan untuk membayar ganti rugi dan biaya pemulihan lingkungan.
Belakangan, kata Sudirman, muncul gugatan perlawanan dari masyarakat Pulo Kruet yang mengklaim sebagai pemilik lahan di areal bekas IUP Kalista seluas 1.605 hektare. Namun, kata Sudirman, hal ini tidak boleh menghentikan proses yang berjalan.
Sudirman juga mengatakan bahwa gugatan warga itu tidak beralasan. Pertama, dalam gugatan, masyarakat mengklaim tanah mereka tidak terbakar. Jika tidak terbakar, tentu tidak dipulihkan.
Kedua, kata Sudirman, perlawanan terhadap eksekusi lahan di bekas IUP Kalista yang akan dipulihkan menjadi hutan kembali, saat ini masih dalam tahap penyitaan dan pelelangan. Ketiga, andaipun benar klaim masyarakat tersebut, tentu saja hal ini tidak menghilangkan hak warga sebagai pemilik lahan itu, apalagi telah memiliki sertifikat hak milik. Lahan yang dipulihkan, kata Sudirman, bukan disita negara. Keempat, perlawanan pihak ketiga tidak dapat menunda eksekusi.
Sudirman menduga warga yang menggugat itu sebenarnya tidak memahami apa yang digugatnya atau diprovokasi oleh kelompok tertentu–patut diduga beririsan dengan Kallista untuk menunda eksekusi lahan HGU milik PT Kalista Alam seluas 5.769 hektare. Seharusnya, kata Sudirman, KLHK bisa mengajukan proses eksekusi kepada pengadilan.
“Tidak perlu menunggu hasil gugatan warga Pulo Kruet. Putusan MA dan putusan Pengadilan Tinggi sudah sangat kuat untuk menghukum PT Kallista Alam,” kata Sudirman.
Kallista Melawan di Rawa Tripa
- 15 Juli 2014. Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh memutus PT Kallista Alam bersalah melakukan tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan secara berlanjut.
- 19 November 2014, Pengadilan Tinggi Banda Aceh mengeluarkan putusan memperkuat Putusan PN Meulaboh setelah PT Kallista Alam mengajukan banding.
- 15 Agustus 2016. PT Kallista Alam mengajukan kasasi.
- 28 September 2016, PT Kallista Alam mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Tapi gugatan itu kembali ditolak sebagaimana putusan PK pada 18 April 2017.
- 8 November 2016, Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh mengeluarkan surat penetapan yang menyatakan menunda eksekusi. Dua bulan berselang, Pengadilan Tinggi Aceh menganulir putusan PN Meulaboh. (Red)